Saturday, 15 January 2011

BENTAR LAGI BAU NYALE (pesta rakyat lombok) 14 Februari

VIVAnews - Sabtu sore, 14 Februari 2009, ribuan orang mulai memadati Pantai Selong Belanak di Kecamatan Praya Barat, pulau Lombok. Warga terus berdatangan baik dengan kendaraan umum, sepeda motor, mobil pribadi, bus, truk dan berbagai moda lainnya. Tujuan semuanya sama: pantai.

Apakah untuk menghabiskan Hari Valentine? Ternyata warga Lombok tak mengikuti tradisi sedunia itu. Mereka punya tradisi sendiri yang disebut Bau Nyale atau menangkap Nyale, semacam cacing laut (Polycaetae).

Bau Nyale kali ini sebenarnya bertepatan dengan tanggal 15 Februari 2009. 15 Februari kali ini jatuh pada tanggal 20 bulan ke sepuluh dalam penanggalan masyarakat Sasak di Nusa Tenggara Barat. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat Lombok khususnya Lombok Tengah menangkap Nyale pada tanggal 20 bulan kesepuluh. Bulan tersebut ditandai dengan munculnya bintang Rowot (Pleades) yang berdekatan dengan rasi Orion.

Bau Nyale ini hanya bisa dilakukan sebelum matahari menyingsing. Sehingga, tak mengherankan, sejak Sabtu sore, ribuan warga Sasak sudah memenuhi setidaknya empat titik pantai di Lombok Tengah seperti Pantai Selong Belanak, Pantai Tampak, Pantai Mawun, dan Pantai Seger.

Menjelang malam jumlah orang semakin bertambah sehingga menambah gegap gempitanya perayaan tahunan Bau Nyale ini. Diperkirakan hampir 30 ribu orang memenuhi jalan-jalan menuju lokasi pantai. Masyarakat yang terdiri dari orang tua dan muda-mudi, pejabat, pedagang, dan dari berbagai profesi tumpah ruah di perbukitan yang ada di sekitar pantai.

***

Masyarakat Lombok mempercayai Nyale merupakan jelmaan dari seorang putri raja Kerajaan Seger yang bernama Putri Sarah Wulan. Sesuai arti namanya yang berarti cahaya kejelitaan, Sarah Wulan termasyur keelokannya. Dia adalah anak Raja Seg (seger) dari permaisuri bernama Lele Bulu Kuning atau Lining Kuning.

Cerita Nyale berawal dari kisah cinta segiempat Putri Sarah Wulan dengan tiga pangeran. Ada Pangeran Arya Rembitan, Pangeran Arya Bumbang dan Pangeran Johor. Para pangeran itu menaruh hati pada putri Raja Seg tersebut dan datang untuk melamarnya.

Lamaran para pangeran itu diterima oleh Putri dan keluarganya. Namun belakangan Putri menjadi bingung dengan keputusannya itu. Pasalnya dengan menerima salah satu lamaran para pangeran akan menimbulkan perselisihan di antara kerajaan.

Akibat tekanan itu sang putri menjadi sakit dan tubuhnya mendadak kurus. Konon di tengah kebingungannya itu muncullah wangsit yang menyuruhnya mengumpulkan para pangeran dan masyarakat untuk mendengarkan keputusan sang Putri raja.

Tanggal 20 bulan ke sepuluh, Putri Sarah Wulan memutuskan untuk menenggelamkan diri ke laut. Dia beranggapan jika menerima keinginan salah satu pangeran, maka keputusannya itu dapat berakibat pada perpecahan di antara pangeran yang berimbas pada rakyatnya.

Putri pun memutuskan untuk menceburkan diri ke laut. Sejak itu, Sarah Wulan dijuluki Putri Mandalika, Putri yang terperangkap dalam perbuatan bimbang, dari asal kata Manda yang diartikan bingung dan Lika yang berarti perbuatan.

Namun, sebelum menceburkan diri, putri berpesan pada semua orang baik pangeran dan masyarakat bahwa dia akan datang setiap tanggal 20 bulan ke sepuluh penanggalan Sasak. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Putri itu, muncul gerombolan hewan berjenis cacing yang dibawa oleh air laut atau disebut Nyale.

Sejak itulah warga Lombok mempercayai tradisi Bau Nyale itu. Warga percaya Nyale membawa kemakmuran dan membuat hasil panen berlimpah. Semakin banyak Nyale, semakin banyak kemakmuran yang datang.

***

Malam Valentine itu semakin larut. Di tribun kehormatan, pusat acara Bau Nyale 2009, duduk Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, Badrul Munir, Bupati Lombok Tengah, Lalu Wiratmaja, dan sejumlah pejabat teras Provinsi NTB lainnya. Juga ada undangan khusus Wakil Gubernur yang berasal dari Singapura. Bahkan Raja Karangasem, Bali, juga ikut meramaikan even tahunan ini.

"Bau nyale itu adalah pestanya warga NTB dan juga warga asing. Kegiatan ini sudah banyak kegunaannya terutama untuk menarik investor asing," kata Lalu Wiratmaja. Seperti dikatakan Wiratmaja, memang bertebaran tampang-tampang asing dalam peringatan tahunan itu.

Namun sambutan formal para pejabat ini dihentikan cuaca yang tak bersahabat. Menjelang tengah malam, hujan lebat yang disertai angin kencang melanda kawasan itu. Karuan saja seluruh pengunjung kocar-kacir untuk mencari tempat berlindung. Tribun kehormatan dan panggung menjadi sasaran.

Pihak panitia terpaksa menghentikan sejenak rangkaian acara yang tengah berlangsung. Konon angin kencang dan hujan lebat itu dipercaya sebagai pertanda munculnya nyale. "Yang paling penting dalam even Bau Nyale tahun ini adalah masyarakat senang, aman dan tetap menjaga kesatuan dan persatuan," ujar Wiratmaja.

Imbauan Bupati itu rupanya bukan isapan jempol. Meskipun diguyur hujan dan diwarnai oleh jalanan yang becek, Bau Nyale itu tetap berlangsung dengan aman tanpa kerusuhan.

Tidak semua pengunjung yang datang menikmati pentas yang disajikan panitia. Bagi mereka yang tidak kuat menahan kantuk terpaksa harus tidur di tenda yang mereka siapkan. Bagi mereka yang tidak punya persiapan harus tidur di bilik kecil yang terbuat dari bambu. Bahkan ada yang tidur di dalam bus dan mobil pribadi mereka.

Kondisi yang sama juga terjadi di bibir pantai Seger pusat pelaksanaan Bau Nyale. Hampir seluruh bibir pantai itu di padati pengunjung. Bagaikan ikan teri, para pengunjung itu tidur meskipun beralaskan pasir dan batu karang.

***

14 Februari berlalu, kerumunan orang semakin bertambah besar di pinggir-pinggir pantai. Menginjak pukul 04.00 waktu setempat, mereka mulai bergerak ke pinggir pantai. Ada yang membawa lampu senter, jaring, ember, botol plastik, ember dan ada yang bermodal pakaian di badan saja. Mereka hendak menangkap Nyale.

Nyale yang hampir mirip dengan cacing itu muncul bergumpal bersama ombak. Nyale itu kemudian terdampar di bebatuan karang yang ada di pesisir pantai. Nyale yang diperoleh langsung diangkut dan ditaruh dalam ember. Berbeda dengan cacing, Nyale memiliki tubuh yang sangat lentur dan lembut seperti mie yang nyaris menjadi bubur. Warnanya beragam, ada merah, hijau, cokelat dan abu-abu.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Nyale itu tidak boleh berada dalam air tawar dan terkena matahari. Jika itu terjadi Nyale akan hilang dengan cara melebur bersama air tersebut. "Memang biasanya seperti itu, kalau matahari sudah terbit, Nyale sudah mulai hilang. Makanya kami menangkapnya pada dini hari hingga menjelang Subuh," ujar Ruhiyat, seorang warta setempat yang ikut berburu Nyale.

Tidak semua orang yang datang ketempat itu berhasil menangkap Nyale. Jika tak mau pulang dengan tangan hampa, mereka bisa membeli Nyale dari tangan orang lain. Nyale yang baru ditangkap mempunyai nilai jual tinggi. Ruhiyat mengaku menjual Nyale tangkapannya seharga Rp 10 ribu per botol kemasan air berdimensi setengah liter.

Nyale yang sudah diolah menjadi sayur memiliki harga jual Rp 15 hingga Rp 25 ribu. "Adanya setahun sekali dan ini termasuk hewan langka yang penuh arti, menangkapnya juga sulit. Jadi wajar kan harganya mahal," kata Ruhiyat.

Dan Ruhiyat bersama ribuan warga lainnya buru-buru pulang sebelum matahari semakin terik. Mereka bergegas pulang untuk segera mengolah Nyale hasil tangkapannya.

Laporan Edy Gustan | Mataram
• VIVAnews

0 komentar:

Post a Comment