Monday, 14 November 2011

Resensi Filsafat Pendidikan ongos

Judul Resensi : Pendidikan Manusia
Judul Buku : Filsafat Pendidikan
Penulis : Teguh Wangsa Gandhi
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Tahun Terbit : 2011
Tebal : 222
Peresensi : Hartono Junaidi 
Alamat : kampus IDIA prenduan al-amien sumenep madura


Hingga hari ini pendidikan dipercaya sebagai sesuatu hal yang penting. Semenjak mempercayai pendidikan, dunia berubah menjadi kota-kota yang dipadati gedung-gedung besar dan pannjang. Yang didalamnya berisi deretan meja dan kursi. Apakah itu yang dinamakan sekolah?.

Bermula dari tempat itulah konon pendidikan dimulai. Setiap hari anak-anak dididik di tempat tersebut agar menjadi manusia yang terdidik. Terdidik berarti hidup dalam ruang lingkup normalisasi-normalisasi nilai yang teratur dan rutin. Konotasi kata terdidik kerap juga diidentikkan dengan manusia yang berpengetahuan, tertib, dan tidak memberontak. Oleh karena itu, siapapun yang urakan dan tidak teratur akan disadari sebagai manusia yang tidak atau belum terdidik.
Pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup serta status sosial untuk diterima sebagai manusia. Semakin tinggi jenjang pendidikan manusia, semakin terhormat dan tinggi posisi tawar status serta penghargaan sosial atas dirinya, walaupun sesorang yang berijazah itu begitu buruk dalam soal pengetahuan.
Mereka yang mengenyam pendidikan, dengan sendirinya akan memiliki kehidupan jauh lebih layak dan mapan serta jauh dihormati ketimbang mereka yang tidak berpendidikan atau bersekolah. Sedangkan mereka yang tidak bersekolah karena tidak memiliki biaya untuk itu akan selalu hidup dalam mata rantai kemiskinan dan hidup dalam situasi yang sepenuhnya tersingkirkan. Akan tetapi berbagai kampanye tentang pendidikan yang mengatakan bahwa pendidikan itu penting guna membela kemanusiaan, justru berimplikasi terbalik menjadi asal muasal lahirnya ironi. Pendidikan menjadi penyebab pertama lahirnya berbagai tindak dehumanisasi serta berbagai reduksi kemanusiaan. Nah disinilah tugas pendidikan manusia dijalankan.
Pada 1943 ketika industrialisasi dan urbanisasi di amerika mulai mengalami kemapanan-kemapanan yang kuat, disisi yang lain pendidikan makin berjalan dengan pola yang sepenuhnya progresif, di New York seorang pemikir bernama Reinhold neibuhr meluncurkan sebuah karya berjudul the nature and destiny of man (1943). Sebagimana judulnya reinhold dalam karya tersebut mengulas sifat dasar manusia dan hidupnya serta sisi keterkaitannya dengan takdir. Dan mengawali pembahassan buku tersebut,, reinhold di halaman pertama mengawali kalimat pembahasannya dengan sebuah kebingungan yang menawan. “manusia” demikian kata reinhold, “bukankah apapun selain problem yang membingungkan dan problem bagi dirinya”. Pernyataan ini reinhold buat, terutama karena ia melihat betapa baginya manusia selalu lekat dengan berbagai kontradiksi dan paaradoks.
Di satu sisi ia terlihat sama sekali bukan sekedar binatang. Ia bahkan jauh lebih cerdas ketimbang primate mana pun. Akan tetapi, disisi yang lain manusia kerap pula terlihat betapa ia hanyalah sekadar binatang yang dengan kesadaran yang jauh lebih tinggi. Dua sifat bertentangan ini begitu mengendalikan hidup manusia di dunia manapun. Sehingga bagi hidupnya manusia selalu menjadi problem.
Pandangan reinhold diatas tentu saja sangat bias diterima, terutama karena kita tahu betapa tidak ada manusia yang sepenuhnya, baik dalam makna yang mutlak ataupun buruk dalam makna yang mutlak juga. Dalam banyak kita selalu menemukan betapa manusia senantiasa hidup dalam dua nilai itu. Suatu ketika hadir dan begitu baik meski di hari yang lain muncul sebagai pribadi yang buruk.
Hanya saja pandangan reinhold diatas melahirkan berbagai pertanyaan mendasar pada kita seputar apa dan bagaimana baik dan buruk bagi dan dalam diri manusia itu. Apakah manusia pada dasarnya memang terlahir dengan sifat buruk? atau justru sebaliknya? Pada mulanya ia bersifat baik dan berubah menjadi buruk, Sebab berbagai hal di sekitarnya? Jika memang manusia terahir sebagai diri yang baik, bagaiana kualitas dari sifat baik itu? Hal apakah yang bias mengubahnya menjadi buruk serta kehilangan sama sekali kebaikan-kebaikan yang dibawanya?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama berlaku pula ketika manusia dipandang terlahir sebagai diri yang memang bersifat buruk. Apakah sifat buruk dalam diri manusia itu bersifat potensia, bias diubah atau justru sesuatu yang telah baku? Bagaimana sebenarnya sifat-sifat buruk yang ada pada diri manusia itu?
Pada bab pertama dalam buku ini penulis membahas tentang pendidikan yang mengubah dunia. Jika kita mendapat pertanyaan mengapa kita mengkaji pendidikan tentu saja mudah untuk keita menjawabnya bahwa itu terkait dengan dunia kita yang sampai hari ini memang masih mempercayai pendidikan sebagai sesuatu hal yang penting. Hanya saja, jika kita mendapat pertanyaan mengapa sampai hari ini kita mempercayai pendidikan, pertanyaan sebaliknya, ia selalu menjadi pertanyaan mendasar yang begitu sulit untuk dijawab oleh siapapun. Ini terkait terutama karena selama ini pendidikan telah menjadi sesuatu hal yang diterima sebagai kebenaran aksiomatis, dari waktu ke waktu.
Penulis disini membandingkan antara pendidikan di barat dan timur seperti di eropa misalnya, keyakinan dan kepercayaan terhadap pendidikan muncul sesuatu hal seperti, school, pedagogie, education, andragogie, dan lain sebagainya. Sementara di timur, kita juga akan menemukan hal yang sama dengan di barat, dengan adanya istilah madrasah, majlis talim, halaqoh, pesantren, padepokan, graham vidia, dan lain sebagainya. Disanalah manusia dikelompokkan ke dalam dua tipe. Pertama anak didik dan kedua guru atau pendidik.
Pada bab kedua penulis menjelaskan tentang peran filsafat pendidikan manusia. Adapun peran penting lain yang terkait idealisasi format pendidikan setiap Negara selalu lahir dalam konsep etis yang berbeda. Hal ini terkait dengan perbedaan nilai-nilai serta kosmologi hidup masing-masing bangsa di dalam menyadari hidupnya. Disini filsfat pendidikan manusia dapat hadir mempersiapkan konsep falsafi sesuai dengan pandangan hidup bangsa terkait dengan landasan konseptual bagi pelaksanaan system pendidikan yang akan dilakukan. Karena tanpa filsafat pendidikan, proses penyelenggaraan pendidikan akan bisa menjadi kegiatan yang justru menghancurkan bangsa kata si penulis.
Pada bab ketiga penulis menguraikan tentang mazhab-mazhab pendidikan manusia yaitu tertata menjadi 9 mazhab pendidikan. Pertama; pendidikan idealisme yang membahas tentang seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika atau agama serta proses penghayatannya. Kedua; pendiidkan realisme yang membahas tentang pendidikan yang berdasarkan akal pikiran jiwa manusia. Ketiga; pendidikan pragmatisme adalah mazhab pendidikan yang dilandaskan pada keyakinan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Keempat; pendidikan progresivisme adalah aliran pendidikan yenag mencoba mengkritisi pendidikan tradisional dan terpengaruh oleh aliran pragmatisme. Kelima; pendidikan esensialisme adalah aliran pendidikan yang memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang emmiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih dan memiliki tata dan cara yang jelas. Keenam; pendidikan perenialisme adalah aliran pendidikan yang memandang adanya nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Karena kaum perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjanjang zaman sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya (tradisionalisme). Ketujuh; pendidikan eksistensialisme adalah aliran pendidikan yang berkeyakinan bahwa situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran ini penuh dengan lukisan-lukisan konkrit. Kedelapan; pendidikan rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merobak tata susunan lama dan membangun tata susunan kebudayaan yang bercorak modern. Kesembilan; behaviorisme adalah aliran pendidikan yang beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa untuk diamati. Tetapi tidak ada perbedaan antara proses yang bisa diamati secara public (seperti tindakan) dan pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Pada bagian akhir buku ini penulis mengulas tentang teori belajar menurut tokoh-tokoh barat seperti, teori belajar Clark Hull, Edwin Guthrie, Skinner, Ivan Pavlov, Edward Lee Thorndike, John B. Watson.
Dari segi lay out dan caver buku cukup bagus dan menarik, dan enak dibawa sebagai pegangan sehari. Dalam segi bahasa yang di pakai oleh penulis cukup banyak memkai istilah ilmiyah dan logika, karena kita secara tidak sadar di ajak berlogika dan berfilsafat.
Buku ini menarik di baca karena mengungkapkan rahasia dibalik kehebatan pendidikan dan manusia. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan teori belajar menurut tokoh-tokoh pendidikan. ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang tengah menekuni bidang pendidikan dan filsafat.




0 komentar:

Post a Comment